Perang Dagang Panas dan Penjualan Ritel Melempem, IHSG Terkapar
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan hari ini, Rabu (9/10/2019), di zona merah. Pada pembukaan perdagangan, IHSG jatuh 0,15% ke level 6.030,46.
Per akhir sesi satu, koreksi indeks saham acuan di Indonesia tersebut telah bertambah dalam menjadi 0,27% ke level 6.023,52. Per akhir sesi dua, koreksi IHSG adalah sebesar 0,17% ke level 6.029,16.
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei terkoreksi 0,61%, indeks Hang Seng melemah 0,81%, dan indeks Straits Times berkurang 0,57%.
Kekhawatiran bahwa perang dagang AS-China akan tereskalasi menjadi faktor utama yang memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Kini, hubungan antar kedua negara justru memanas menjelang negosiasi dagang tingkat tinggi yang dijadwalkan untuk mulai digelar pada hari Kamis (10/10/2019) di Washington.
Pemberitaan dari Bloomberg menyebut bahwa pejabat pemerintahan China telah memberi sinyal bahwa Beijing enggan untuk menyetujui kesepakatan dagang secara menyeluruh seperti yang diinginkan oleh Presiden AS Donald Trump.
Dalam pertemuan dengan perwakilan dari AS dalam beberapa minggu terakhir di Beijing, pejabat senior dari China telah mengindikasikan bahwa kini, materi-materi yang bersedia didiskusikan oleh pihak China dalam negosiasi dagang tingkat tinggi telah menyempit, seperti dilansir oleh Bloomberg dari orang-orang yang mengetahui masalah tersebut.
Lebih lanjut, pemberitaan dari Bloomberg menyebut bahwa Wakil Perdana Menteri China Liu He telah menginformasikan kepada pihak AS bahwa dirinya akan membawa proposal kesepakatan dagang ke Washington yang tak memasukkan komitmen untuk merubah praktek pemberian subsidi terhadap perusahaan-perusahaan asal China.
Padahal, praktek pemberian subsidi terhadap perusahaan-perusahaan asal China oleh pemerintah merupakan salah satu hal yang sangat ingin diubah oleh AS. Kalau diingat, bahkan hal ini merupakan salah satu faktor yang melandasi meletusnya perang dagang antar kedua negara.
Kemudian, AS memasukkan delapan perusahaan teknologi raksasa asal China dalam daftar hitam, membuat kedelapan perusahaan tersebut tak bisa melakukan bisnis dengan perusahaan asal AS tanpa adanya lisensi khusus, seperti dilansir dari Bloomberg. AS beralasan bahwa kedelapan perusahaan tersebut terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia terhadap kaum Muslim di Xinjiang, China.
Keputusan ini menandai kali pertama AS menggunakan alasan hak asasi manusia guna menekan China. Sebelumnya, Huawei selaku raksasa telekomunikasi asal China juga dimasukkan dalam daftar hitam oleh AS, namun dengan alasan keamanan nasional.
China pun berang dengan langkah AS tersebut dan dengan tegas menyatakan bahwa pihaknya tak akan tinggal diam.
"China akan terus mengambil langkah-langkah yang tegas dan kuat untuk mempertahankan kedaulatan negara, keamanan, dan pembangunan," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, seperti dilansir dari CNBC International.
Dikhawatirkan, eskalasi perang dagang AS-China akan membawa kedua negara mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
Di AS, rilis data ekonomi belakangan ini sudah menunjukkan bahwa negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut sedang dihadapkan pada tekanan yang sangat besar.
Belum lama ini, Manufacturing PMI AS periode September 2019 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 47,8, jauh di bawah konsensus yang sebesar 50,4, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Kontraksi yang terjadi pada bulan September merupakan kontraksi terburuk yang dibukukan oleh sektor manufaktur AS dalam satu dekade terakhir.
Kemudian, Non-Manufacturing PMI periode September 2019 diumumkan oleh ISM di level 52,6, di bawah konsensus yang sebesar 55,1, seperti dilansir dari Forex Factory. Melansir CNBC International, Non-Manufacturing PMI yang sebesar 52,6 tersebut merupakan level terendah yang pernah dicatatkan semenjak Agustus 2016 silam.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Penjualan Ritel Tumbuh Minimalis, Saham Konsumer Babak Belur
(ank/ank)
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Perang Dagang Panas dan Penjualan Ritel Melempem, IHSG Terkapar"
Post a Comment