Resesi dan Perang Dagang di Depan Mata, Siapkan Payung Ya...
Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Maklum, di Asia kondisinya pun demikian...
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) justru ditutup menguat 0,11%. Rupiah juga senada dengan mata uang utama Benua Kuning yang kompak terapresiasi di hadapan greenback, hanya yuan China, rupee India, dan won Korea Selatan yang mencatat depresiasi.
Apa yang terjadi? Mengapa bursa saham Asia 'kebakaran' sementara mata uangnya relatif adem ayem?
Sepertinya pasar saham merespons dua sentimen besar yang beredar kemarin. Pertama, kekhawatiran bahwa AS bakal mengalami resesi meningkat seiring rilis data aktivitas manufaktur.
Pada September, angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS versi Institute for Supply Management (ISM) adalah 47,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,1.
Angka PMI di bawah 50 menunjukkan industriawan tidak melakukan ekspansi. Selain itu, skor 47,8 adalah yang terendah sejak Juni 2009.
"Ini adalah angka yang buruk, sejalan dengan masalah manufaktur yang dialami dunia. Saya rasa pasar layak untuk cemas," tegas Jim Bianco, Kepala Riset Bianco Research yang berbasis di Chicago, seperti dikutip dari Reuters.
"Sektor manufaktur sudah mengalami resesi. Namun bukan berarti ekonomi secara keseluruhan sudah dalam resesi," tambah Thomas Simons, Ekonom di Jeffries, juga dikutip dari Reuters.
Sentimen kedua adalah hawa di Semenanjung Korea yang memanas. Korea Utara dikabarkan telah meluncurkan misil balistik yang diduga berasal dari kapal selam.
Militer Korea Selatan menyatakan bahwa mereka mendeteksi peluncuran misil yang kemudian terbang sejauh 450 km dengan ketinggian 910 km. Diduga misil tersebut berjenis Pukgokson, senjata yang tengah dikembangkan oleh Pyongyang.
Isu ini bahkan sudah sampai ke ranah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang ikut khawatir. "Sekretaris Jenderal berharap kedua pihak terus menjaga dialog dan mencapai kemajuan," tegas Juru Bicara PBB Stephane Dujarric, seperti dikutip dari Reuters.
Sementara pasar mata uang merespons nilai tukar dolar AS yang terkoreksi setelah menguat cukup tajam. Akhir pekan lalu, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat sampai ke titik tertinggi sejak Mei 2017.
Investor melakukan profit taking terhadap dolar AS, dan arus modal sebenarnya masuk ke negara-negara Asia termasuk Indonesia. Namun aliran modal tidak menuju ke pasar saham, melainkan obligasi pemerintah.
Terlihat bahwa imbal hasil (yield) obligasi pemerintah di Benua Kuning bergerak turun, pertanda bahwa harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan. Yield obligasi pemerintah Indonesia seri acuan tenor 10 tahun turun 2,6 basis poin (bps), Singapura turun 1,9 bps, Malaysia turun 2,7 bps, Thailand turun 2 bps, sampai India turun 3,7 bps.
'Darah' dari pasar obligasi ini mampu menopang penguatan nilai tukar mata uang Asia. Itulah penyebab mata uang Benua Kuning mampu menguat di tengah karamnya bursa saham.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Resesi dan Perang Dagang di Depan Mata, Siapkan Payung Ya..."
Post a Comment